Filsafat Pemikiran Al-Ghazali
Filsafat Pemikiran Al-Ghazali
Filsafat Islam pertemuan 10
tanggal 9 November 2022 Hasil Diskusi dari Kelompok 8
Oleh:
Asnaura
NIM:
11210511000002
Dosen
Pengampu: Drs. Study Rizal LK. M. Ag.
Jurnalistik
3A
Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi as-Syafi’i al-Ghazali. Secara singkat
dipanggil al-Ghazali atau Abu Hamid al-Ghazali. Dan mendapat gelar imam besar
Abu Hamid al-Ghazali Hujatul Islam.
Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua z), artinya
tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah beliau adalah tukang pintal benang
wol. Sedang yang lazim ialah Ghazali (satu z), diambil dari kata Ghazalah nama
kampung kelahirannya.
Al-Ghazali adalah
ahli pikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam),
“Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudra yang Menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan
lain-lain. Riwayat hidup dan pendapat-pendapat beliau telah banyak diungkap dan
dikaji oleh para pengarang baik dalam bahasa Arab, bahasa Inggris maupun bahasa
dunia lainnya, termasuk bahasa Indonesia. Hal itu sudah selayaknya bagi para
pemikir generasi sesudahnya dapat mengkaji hasil pemikiran orang-orang
terdahulu sehingga dapat ditemukan dan dikembangkan pemikiran-pemikiran baru.
Al-Ghazali telah
mengarang sejumlah besar kitab pada waktu mengajar di Baghdad, seperti
Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz dan Al-Khalasah Fi Ilmil Fiqh. Seperti juga
kitab-kitab Al-Munqil Fi Ilmil Jadl, Ma’khudz Al- Khilaf, Lubab Al-Nadhar,
Tahsin Al-Maakhidz dan Mabadi’ Wal Ghāyat Fi Fannil Khilaf. Sekalipun mengarang
beliau tidak lupa berpikir dan meneliti hal-hal dibalik hakikat. Beliau tidak
ragu-ragu mengikuti ulama yang benar, yang tidak seorangpun berpikir mengenai
kekokohan kesahannya atau untuk meneliti sumber pengambilannya. Pada waktu itu
beliau juga mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Hanya 4 tahun al-Ghazali menjadi
rektor di Universitas Nizhamiyah. Setelah itu beliau mulai mengalami krisis
rohani, krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis ma’rifat. Secara
diam-diam beliau meninggalkan Baghdad menuju Syam, agar tidak ada yang
menghalangi kepergiannya baik dari penguasa (khalifah) maupun sahabat dosen
seuniversitasnya. Al-Ghazali berdalih akan pergi ke Makkah untuk melaksanakan
ibadah haji. Dengan demikian, amanlah dari tuduhan bahwakepergiannya untuk
mencari pangkat yang lebih tinggi di Syam. Pekerjaanmengajar ditinggalkan dan
mulailah beliau hidup jauh dari lingkunganmanusia, zuhud yang beliau tempuh.
Sanggahan Al-Ghazali terhadap Para Filosof
Al-Ghazali menyampaikan sanggahan keras kepada
pemikiran para filosof, seperti Aritoteles dan Plato, serta Al-Farabi dan Ibnu
Sina. Kritik tersebut tertuang dalam bukunya, yaitu Tahafut al-Falasifat (The
Incoherence of the Philosopher atau Kerancuan Pemikiran Para Filosof), yang
mendemonstrasikan kepalsuan para filosof beserta doktrin-doktrin mereka.
Al-Ghazali mempelajari filsafat tanpa bantuan
seorang guru dan ia menghabiskan waktu selama dua tahun. Setelahnya
pemikiran tersebut dituangkan dalam bukunya Maqashud al-Falasifat (Tujuan
Pemikiran Para Filosof), dimana dengan buku ini Al-Ghazali disebut benar-benar
menguasai argumen yang dipergunakan para filosof. Ini pula didukung oleh
pendapatnya yang menegaskan bahwa menolak sebuah mazhab sebelum memahaminya dan
menelaahnya dengan saksama dan sedalam-dalamnya, berarti menolak dalam
kebutaan.
Sebab
Akibat (Kausalitas) dan Mukjizat
Telah disebutkan bahwa
Al-Ghazali sebenarnya tidak mengingkari adanya hukum kausalitas. Namun yang ia
ingkari adalah pendapat para filsof Muslim yang mengatakan bahwa hubungan sebab
akibat merupakan hubungan kepastian atau keniscayaan. Sikap Al-Ghazali ini
didasari oleh konsep bahwa Allah adalah pencipta segala yang ada termasuk
peristiwa yang berada di luar kebiasaan. Pada sisi lain, untuk menjaga jangan
sampai terjadi adanya anggapan di kalangan kaum Muslimin bahwa apa yang terjadi
di alam ini hanya disebabkan kekuatan kebendaan semata. Padahal, ada sebab lain
dibalik kebendaan itu yang merupakan rahasia tersembunyi, yang justru inilah
yang merupakan sebab hakiki, yakni Allah.
Pendapat Al-Ghazali tentang
ini terdapat dalam kitabnya Tahafut al-Falasifat. Mnurut Al-Ghazali, hubungan
antara sebab dan akibat tidak bersifat dharuriy (kepastian), dalam pengertian
keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti berlaku, tetapi keduanya
masing-masing memiliki individualitasnya sendiri. Sebagai contoh, antara makan
dan kenyang tidak terdapat hubungan yang bersifat keniscayaan. Artinya, orang
makan tidak niscaya merasa kenyang karena makan tidak mesti menyebabkan orang
kenyang. Semua ini merupakan adat atau kebiasaan alam, bukan suatu kemestian.
Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah
semata.
Apabila Allah menggerakkan tangan orang
mati, lalu duduk, kemudian menulis sehingga menghasilkan tulisan yang teratur,
hal ini tidaklah mustahil, jika kita membolehkan terjadinya hal-hal baru pada
iradat bebas Allah. Hanya saja hal ini diingkari karena terjadinya sesuatu yang
berlawanan dengan adat atau kebiasaan. Sementara itu, Al Ghazali mengembalikan
semua itu kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Allah. Atas kehendak dan
kekuasaan-Nya semuanya bisa terjadi meskipun berlawanan dengan kebiasaan. Dari
segi inilah terjadinya mukjizat para nabi.
Kritik Al-Ghazali terhadap
Emanasionisme Para Filosof Muslim
Telah dimaklumi bahwa
hampir semua filsof Muslim dalam penciptaan alam semesta menganut filsafat
emanasi. Emanasionisme yang dirumuskan oleh para filsof Muslim memang merupakan
daya kreasi atau capaian yang amat mengesankan. Akan tetapi, tidak semua pihak
dapat menerimanya. Kritikan yang keras dan tajam terutama datang dari
Al-Ghazali, dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifat
memperolok-olokan para filosof muslim yang mengemukakan filsafat emanasi ini
(Ak-Farabi dan Ibnu Sina). Menurutnya, melimpahnya akal-akal dari Allah adalah
sesuatu yang dibuat-buat (angan-angan), pada hakikatnya merupakan kegelapan
diatas kegelapan. Jika hal ini diceritakan oleh orang yang sedang tidur
pertanda bahwa akalnya telah rusak.
Para filosof Muslim bertolak dari rasio, sedangkan Al-Ghazali bertolak dari empirik keagamaan. Al-Ghazali menyadari tempat berpijak para filosof Muslim ada kemungkinan kritiknya ini tidak akan terjadi, misalnya dalam istilah kadim. Bagi para filosof Muslim kadim merupakan sesuatu yang dalam kejadiannya terus menerus dan kadim berarti sesuatu yang ini berarti tanpa sebab, tetapi juga boleh berarti sesuatu yang berwujud dengan sebab. Sedangkan kadim menurut Al-Ghazali, berarti ma’la illata lahu (sesuatu yang tidak bersebab), dan satu-satunya yang tidak bersebab ialah Allah. Justru itulah, bagi Al-Ghazali, yang kadim hanya Allah dan yang selain-Nya adalah hadis (baharu). Dengan kata lain, itu hanya interpretasi Al-Ghazali terhadap pendapat para filosof Muslim dan tidak sesuai denga napa yang dimaksud oleh para filosof Muslim itu sendiri. Padahal, yang mereka maksud adalah Allah menciptakan alam secara emanasi tanpa diantarai oleh waktu.
Komentar
Posting Komentar